Cukup aneh, tapi perlu direnungkan. Kasus yang terjadi di Blitar berikut ini adalah contoh kurangnya pengetahuan warga masyarakat tentang penyebaran HIV dan seperti apa penatalaksanaannya. Ini seharusnya menjadi renungan bagi teman-teman yang bergelut di dunia kesehatan. Mungkin dengan adanya peran serta tenaga medis, khususnya perawat yang memegang peran health educator.
Berikut kasus selengkapnya :

BLITAR - Gara-gara dicurigai terjangkit penyakit HIV/AIDS, Rubiono (32), warga Jalan Mojopahit RT 2/RW 4, Kelurahan Gedog, Sananwetan, Blitar, Jawa Timur, tidak diterima keluarganya untuk tinggal bersama.

Batuk menahun hingga vonis dari Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Kota Blitar mengidap penyakit TBC, membuat duda dua anak ini, terpaksa mendiami sebuah ruangan bekas kandang sapi.

Batuk yang tak kunjung sembuh itu, dicurigai kerabat akibat penyakit HIV/AIDS yang di deritanya. Selain batuk dengan kondisi fisik kurus kering, Rubiono juga mengalami diare berkepanjangan. Belakangan, karena sakitnya, ia mengalami kelumpuhan.

Ayah dari Anik Suryani (9) dan Ana Widyastuti (8) itu tergeletak di atas tempat tidur di ruangannya yang berukuran 3 x 4 meter. Rumah mungil sangat sederhana itu, berlantai semen dengan seluruh dinding terbuat dari triplek.



Lokasi ini berada di pinggir sungai, bersebelahan dengan sekolah Taman Kanak-kanak Al Hidayah Kota Blitar. “Saya yang memintanya bertempat tinggal di sana. Baru sekitar 2 mingguan. Karena tanah itu juga milik keluarganya,” tutur Nurhadi, tetangga Rubiono kepada wartawan Jumat (8/1).

Nurhadi mengaku tidak begitu tahu bagaimana proses penyakit yang di derita Rubiono. Yang ia ketahui, sepulang dari Palembang, mantan suami Ny Agus Widyaningsih ini, terlihat kerap batuk-batuk.

Datang dari pulau Sumatera, Rubiono langsung menumpang hidup di rumah Ny Parmi, 60 bibinya, yang keseharianya berjualan nasi pecel. Sebab, orang tua, dan saudaranya berada di papua (Irian Jaya). Sementara kedua anaknya ikut mantan istrinya.

“Merasa tidak enak dengan bibinya, karena batuknya mengganggu pembeli, Rubiono kemudian memutuskan tinggal di rumah Ny Anik, adiknya yang berada di Nganjuk,” papar Nurhadi.

Namun keberadaanya di Nganjuk hanya berlangsung 3 hari. Dengan alasan Ny Anik sering sakit-sakitan, Rubiono kembali ke Blitar. Sementara melihat kedatanganya, keluarga Ny Parmi langsung menyampaikan sinyal penolakan.

Dalam kondisi terjepit tersebut, Nurhadi menyarankan Rubiono untuk sementara waktu menempati ruangan kosong yang dulunya berfungsi sebagai kandang sapi. “Sebab saya fikir tidak mungkin kalau tinggal di masjid. Karena disarankan untuk tinggal di sana (kandang sapi) sampai ada pertolongan lebih kanjut,” jelas Nurhadi.
Untuk makan, Rubiono bergantung dari uluran tangan kerabat dan tetangganya. Sutejo (53), paman Rubiono menambahkan, keponakanya memiliki prilaku hidup yang kurang sehat. Saat masih bertempat tinggal di Blitar dan Papua (sebelum ke Palembang), Rubiono kerap berkunjung ke lokalisasi.

Karenanya ketika pulang dengan kondisi badan kurus kering, batuk-batuk dan diare tak kunjung sembuh, pihak keluarga curiga Rubiono mengidap HIV/AIDS. “Kalau memang benar HIV/AIDS, kami sendiri takut tertular kalau penangananya salah,” ujarnya.

Sementara menurut pengakuan Rubiono, dirinya mengalami sakit batuk sekitar setahunan. Tepatnya sejak masih bekerja di Pelembang sebagai kuli angkut. Setiba di Blitar sekira 6 bulan lalu, Rubiono berobat ke RSK Budi Rahayu Blitar. “Dokter rumah sakit menyatakan TBC. Saya kemudian berobat jalan di Puskesmas Sananwetan. Karena tidak sembuh saya pergi ke Palembang. Oleh majikan kemudian dipulangkan,” tuturnya.
(Solichan Arif/Koran SI/ful)

Sumber : http://news.okezone.com/read/2010/01/08/340/292336/340/diduga-aids-warga-blitar-dirawat-di-kandang-sapi

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

tinggalkan pesan


ShoutMix chat widget